HUBUNGAN
ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Dalam Hal Akidah
1.
Surat
Al-Kafirun
قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ ﴿١﴾
لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ ﴿٣﴾
وَلَآ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ
أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ ﴿٦﴾
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir (1). aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah(2).
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah(3). Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah(4) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah(5) Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku".(6)
2. Arti Mufradat
عَابِدُونَ : penyembah
مَا
عَبَدْتُمْ : apa yang kamu sembah
دِينُكُمْ : agamu mu
مَا
أَعْبُدُ : Tuhan yang aku sembah
3.
Asbab Al-Nuzul
Dalam
suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum quraisy berusaha mempengaruhi Nabi dengan
menawarakan harta kekayaan agar beliau menjadi orang yang paling kaya di kota Makah,
dan akan dikawinkan dengan yang beliau kehendaki. Usaha ini disampaikan dengan
berkata: “inilah yang kami sediakan untukmu wahai Muhammad, dengan syarat
engkau jangan memaki-maki Tuhan kami dan menjelekkannya, atau sembahlah Tuhan
kami selama setahun. Nabi menjawab: aku akan menungggu wahyu dari Tuhan ku.
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak
tawaran oranng kafir. (di riwayatkan oleh at-thabarani dan ibnu abi hatim yang
bersumber dari ibnu abbas)[1]
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa kaum kafir quraisy berkata kepada Nabi “sekiranya
engkau tidak keberatan mengikuti kami (menyembah berhala) selama setahun, kami akan
mengikuti agama mu selama setahun pula. Maka turunlah surat ini. (diriwayatkan
oleh abdurrazaq yang bersumber dari wahb dan ibnu munzdir yang bersumber dari
juraij)[2]
Dalam
riwayat lain dikemukakan bahwa al-walid
bin mughirah, al’ashi bin wail, al-aswad bin muthallib, dan umayyah bin
khalaf bertemu dengan rasul dan berkata: hai Muhammad! Mari kita bersama menyembah
apa yang kami senbah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita
bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami. Maka Allah menurunkan
ayat ini.[3]
4. Tafsir Surat
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
Katakanlah: "Hai
orang-orang yang kafir
aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah.
Kata
قُلْ (katakanlah) pada ayat
diatas menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak sedikitpun mengurangi wahyu
Allah yang disampaikan kepadanya.
Walaupun dilihat dari segi lahiriahnya kelihatannya kata ini tidak
berfungsi[4]. Dalam ayat satu dan dua ini Rasul SAW
diperintahkan Allah untuk menyampaikan kepada orang-orang kafir bahwa Tuhan
yang mereka sembah bukanlah Tuhan yang ia sembah, karena mereka menyembah Tuhan
yang memerlukan bantuan dan menjelma dalam suatu bentuk. Sedang Nabi menyembah
Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak
ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa.[5]
Maksud pernyataan diatas adalah terdapat perbedaan yang sanngat
besar antara Tuhan yang disembah orang-orang kafir dan Tuhan yang disembah oleh
Rasul. Orang-orang kafir menyifati Tuhan mereka dengan sifat-sifat yang
tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang
disembah Nabi SAW.[6]
La dalam potongan ayat لا أَعْبُدُ menurut pendapat Al-syaukani dalam tafsir fathul
qadir menunjukan makna istiqbal (akan
datang). Menurutnya kata laa pada umumnya jika masuk pada fiil mudhari’
menunjukan makna istiqbal (akan datang) sebagaimana ma tidak msuk pada fiil
mudhari’ kecuali menunjukan makna hal. Dengan demikian ayat tesebut menunjukan
bahwa Rasul tidak akan menyembah Tuhan orang kafir dimasa yang akan datang dan
selamanya.[7]
وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Dan tidak (juga) kamu
akan menjadi penyembah-pennyembah apa yang sedang aku sembah
Ayat ketiga ini mengisyaratkan bahwa mereaka itu tidak menyembah
atau taat kepada Allah, Tuhan yang disembah oleh Rasul SAW. Pernyataan ayat ini
tidak bertentangan dengan kenyataan sejarah berduyun-duyunya penduduk makah
yang tadinya kafir memeluk agama Islam dan menyembah Tuhan yang disembah
Rasul. Karena ayat ini dikhususkan
kepada orang-orang kafir yang datang kepada nabi menngusulkan kompromi dalam
menyembah tuhan.
وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Dan tidak juga aku menjadi penyembah apa yang kamu sembah
Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah tuhan yang aku
sembah
Setelah ayat yang lalu menegaskan bahwa tokoh kafir tidak akan
menyembah apa yang disembah nabi, ayat ini melanjutkan bahwa, dan tidak juga
aku akan menjadi penyembah dimasa datang dengan cara yang selama ini kamu
sembah, yakni aneka macam berhala. Dan tidak juga kamu wahai tokoh-tokoh kaum
musyrikin akan menjadi penyembah dengan cara yang aku sembah.
Syekh Ismail haqqy menafsirkan bahwa Nabi
Muhammad tidak akan menyembah berhala yang dianggap Tuhan oleh orang-orang
kafir Jahilliah selama-lamanya. Menurut
penafsiran Syekh Ismail, ketika zaman jahilliyah saja Nabi tidak ikut menyembah
berhala, apalagi setelah datangnya agama Islam, tidak mungkin Nabi menyembah
berhala yang disembah orang kafir.[8]
Sebagian
mufassir berpendapat bahwa kandungan ayat
empat surat ini, tidak berbeda dengan
kendungan pada ayat dua, demikian pula kandungan ayat lima sama dengan
kandungan ayat tiga. Pendapat ini
dibantah oleh Quraish Shihab, menurutnya pendapat ini kurang tepat karena tanpa
ada kesulitan dapat dilihat perbedaan redaksi antara ayat dua dan ayat empat.[9]
Qurasih
shihab menyatakan, untuk memahami perbedaan itu, harus mengarahkan pandangan
kepada kata ‘abadtum yang ada pada ayat empat menggunakan bentuk kata
kerja masa lampau. Sedang pada ayat kedua kata yang digunakan adalah kata ta’budun
merupakan kerja berbentuk hal atau istiqbal (menunjukan arti saat ini atau akan
datang). Lebih jauh lagi jika
diperhatikan ayat tiga dan ayat lima, keduanya berbicara tentang apa yang
disembah atau ditaati oleh Nabi Muhammad, akan ditemukan redaksi yang digunakan
sama, yakni kedua ayat tersebut mengunakan kata a’bud dalam bentuk hal dan
istiqbal.[10]
Dari
perbedaan diatas kesan yang pertama timbul adalah, Nabi ada konsistensi dalam
objek pengabdian dan ketaatan. Beliau tidak menyembah Tuhan yang berubah-ubah.
Berbeda halnya dengan orang kafir yang menyembah Tuhan yang berbeda-beda di
tiap harinya. Hal ini sesuai dengan fakta sejarah yang diungkapkan oleh Abu
raja’ al-tharidi, seorang yang hidup dimasa jahiliyyah dan masuk Islam setelah
Nabi wafat. Ia menceritakan bahwa, pada
zaman jahilliyah jika kaum kafir Quraish menemukan batu yang indah mereka
menyembahnya.[11]
Surat
ini jika diperhatikan terdapat sedikit yang aneh. Hal aneh tersebut adalah
mengungkapkan kata ganti Allah dengan huruf ma, padahal jika dipandang dari
sudut ilmu gramatikal arab. Kata ma menunjukan Ghairu Akil (sesuatu yang tidak berakal). Dalam hal ini Muhammad
bin Akhmad Khatib menyatakan, pemakain kata ma untuk kata ganti Allah adalah
sebagai perbandingan (muqabalah) .
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
Bagimu agama mu dan bagi ku agama ku
Al-syaukani berpendapat kata كُمْ دِينُكُمْ adalah penguat atau penegas dari لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . sebagaimana firman Allah وَلِىَ دِينِ merupakan penegas
atau penguat dari firman-Nya وَلا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. Maksud ayat tersebut menurut penafsiran al-syaukani
adalah “ jika kamu ridha dengan agama mu maka aku pun ridha dengan agama
ku. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat Assyura ayat lima belas, yang artinya “ bagi kami amal-amal kami
dan bagi kalian amal-amal kalian.[12]
Kata din, dapat diartikan agama atau balasan atau dapat diartikan pula kepatuhan[13]. Muhammad bin ahkmad al khatib, dalam tafsir
khatib al-syarbini mengungkapan pendapat bahwa ayat diatas dapat ditafsiri
dengan “ bagimu balasan dari perbutan mu dan bagiku balasan dari perbuatan ku”
. dengan demikian kata din dapat diartikan dengan balasan.[14]
5.
Munasabah
Pada akhir surat al-kausar dijelaskan bahwa
orang yang amembenci Nabi Muhammmada akan terputus. Pada awal surat al-kafirun,
Rasul diperintahkan bersikap tegas kepada orang yang ingkar kepada Allah.[15]
Sedang hubungan surat al-kafirun dengan surat
an-nasr adalah, jika pada surat al-kafirun menerangkan bahwa Rasul Saw tidak
akn mengikuti agama oreang-orang kafir, maka pada surat an-nasr diterangkan
bahwa agama yang dibawa nabi akan berkembang dan menang.[16]
B. Dalam Hal Muamalah
* Ó|¤tã ª!$# br& Ÿ@yèøgs† ö/ä3oY÷t/ tû÷üt/ur tûïÏ%©!$# NçF÷ƒyŠ$tã Nåk÷]ÏiB Zo¨Šuq¨B 4 ª!$#ur փωs% 4 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ×LìÏm§‘ ÇÐÈ žw â/ä38yg÷Ytƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ム’Îû ÈûïÏd‰9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøƒä† `ÏiB öNä.Ì»tƒÏŠ br& óOèdr•Žy9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍköŽs9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ $yJ¯RÎ) ãNä39pk÷]tƒ ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNä.qè=tG»s% ’Îû ÈûïÏd‰9$# Oà2qã_t÷zr&ur `ÏiB öNä.Ì»tƒÏŠ (#rãyg»sßur #’n?tã öNä3Å_#t÷zÎ) br& öNèdöq©9uqs? 4 `tBur öNçl°;uqtFtƒ šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# [17]ÇÒÈ
Mudah-mudahan Allah
menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara
mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim.
6. Tafsir
(7)
Kata ( عسى ) ‘asa digunakan untuk menggambarkan
harapan tentang terdirinya sesuatu di masa datang. Tentu saja hal ini mustahil
bagi Allah, karena segala sesuatu telah diketahui-Nya. Atas dasar itu, maka
kata ‘asa tertuju kepada mitra bicara, yakni harapkan dan bersikap optimislah.
Sementara ulama berpendapat bahwa semua kata ‘asa dalam al-Qur’an mengandung
makna kepastian. Dalam penelitian penulis, pendapat ini jika secara tegas kata
tersebut dinisbahkan kepada Allah, seperti bunyi ayat di atas. Adapun jika
tidak dinisbahkan kepada-Nya, maka ia bermakna tuntunan agar mengharap dan
bersikap optimis, seperti dalam Qs. al-Baqarah [2]: 16. Apa yang dijanjikan di
atas, terbukti tidak lam setelah turunnya ayat ini. Ketika Rasul saw. Memasuki
kota Mekah, berduyunlah penduduk Mekah – memeluk Islam, sehingga benar-benar
terjalin hubungan kasih saying antara kaum beriman dengan meraka yang tadinya
musyrik.
Didahulukannya kalimat antara
kamu dan antara mereka – orang-orang yang telah kamu musuhi dari mereka
atas kata mawaddah / kasih sayang adalah untuk menekankan terjadinya kasih
sayang itu antar mereka. Ini karena mereka merasakan secara langsung pahitnya
pemutusan hubungan dengan sesame keluarga. Penyambutan hati mereka akibat
hubungan kasih yang terjadi antara mereka dengan orang lain, tidak akan
disambut semeriah dan segembira jika jalinan kasih itu terjadi antara mereka
dengan keluarga. Karena itu ayat di atas mendahulukan kalimat tersebut. [18]
Kata (
مودة ) mawaddah adalah kasih yang terbukti dampak positifnya
dalam tingkah laku. Menurut al-Hasan al-Basri dan Abu Salih, ayat ini
diturunkan berhubungan dengan Khuza‘ah, Bani al-Haris bin Ka‘ab, Kinanah,
Khuzaimah, dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Mereka minta diadakan perdamaian
dengan kaum Muslimin dengan mengemukakan ikrar tidak akan memerangi kaum
Muslimin dan tidak menolong musuh-musuh mereka. Maka turunlah ayat ini yang
memerintahkan kaum Muslimin untuk menerima permusuhan mereka.[19]
Ayat ini menyatakan kepada
Rasulullah dan orang-orang yang beriman bahwa mudah-mudahan Allah akan
menjalinkan rasa cinta dan kasih saying antara kaum Muslimin yang ada di
madinah dengan orang-orang musyrik Mekah yang selama ini membenci dan menjadi
Musuh Mereka. Hal itu Apalagi jika orang-orang kafir mau beriman kepada Allah
dan rasul-Nya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah mereka lakukan
sebelumnya, yaitu dosa memusuhi Rasulullah dan kaum Muslimin.
Isyarat yang terdapat dalam ayat ini
terbukti kebenarannya pada pembebasan kota mekah oleh kaum Muslimin, tanpa
terjadi pertumpahan darah. Sewaktu Rasulullah memasuki kota Mekah, karena
orang-orang musyrik melanggar perjanjian mereka dengan kaum Muslimin, mereka
merasa gentar menghadapi tentara kaum Muslimin, dan bersembunyi di rumah-rumah
mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengumumkan bahwa barang siapa yang
memasuki Baitullah, maka dia mendapat keamanan, barang siapa memasuki Masjidil
Haram, maka ia mendapat keamanan, dan barang siapa memasuki rumah Abu Sufyan,
ia mendapat keamanan. Perintah itu ditaati oleh kaum musyrik dan mereka pun
berlindung di Ka‘bah, di Masjidil Haram, dan rumah Abu Sufyan. Maka waktu itu,
kaum Muslimin yang telah hijrah bersama Rasulullah ke madinah bertemu kembali
dengan keluarganya yang masih musyrik dan tetap tinggal di mekah, setelah
beberapa tahun mereka berpisah. Maka terjalinlah kembali hubungan baik dan
kasih sayang diantara mereka.[20]
Karena baiknya sikap kaum Muslimin
kepada mereka, maka mereka berbondong-bondong masuk islam. Firman Allah:
#sŒÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ |M÷ƒr&u‘ur }¨$¨Y9$# šcqè=ä{ô‰tƒ ’Îû Ç`ƒÏŠ «!$# %[`#uqøùr& ÇËÈ ôxÎm7|¡sù ωôJpt¿2 y7În/u‘ çnöÏÿøótGó™$#ur 4 ¼çm¯RÎ) tb%Ÿ2 $R/#§qs? ÇÌÈ
Apabila telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan, dan kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (an-Nasr/110:1-3)[21]
(8)
Firman-Nya ( لم يقاتلوكم ) lam yuqatilukum
/ tidak memerangi kamu menggunakan bentuk mudhari‘. Ini dipahami
sebagai bermakna “mereka secara factual sedang memerangi kamu”, sedang kata fi
yang berarti dalam mengandung isyarat bahwa ketika itu mitra bicara
bagaikan berada dalam wadah tersebut sehingga tidak ada dari keadaan mereka
diluar wadah itu. Dengan kata fi ad-din / dalam agama tidak termasuklah
peperangan yang disebabkan karena kepentingan duniawi yang tidak ada
hubungannya dengan agama, dan tidak termasuk pula siapa pun yang tidak secara
faktual memerangi umat Islam- antara lain pada masa Nabi yakni suku ‘Khuza’ah
demikian juga wanita-wanita, dan Ahl adz-Dzimmah (penduduk negeri dari Ahl
al-Kitab yang membayar pajak). Berbuat baik terhadap mereka adalah salah satu
bentuk akhlak mulia.[22]
Diriwayatkan
bahwa Ahmad bin Hanbal menceritakan kepada beberapa imam yang lain dari
‘Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Telah datang ke madinah (dari Mekah) Qutaih
binti ‘Abdul ‘Uzza, bekas istri Abu bakar sebelum masuk Islam, untuk menemui
putrinya Asma’ binti Abu Bakar dengan membawa berbagai hadiah. Asma’ enggan
menerima hadiah itu dan tidak memperkenankan ibunya memasuki rumahnya. Kemudian
Asma’ mengutuskan seseorang kepada ‘Aisyah agar menanyakan hal itu kepada
Rasulullah. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan Asma’ menerima hadiah dan
mengizinkan ibunya yang kafir itu tinggal di rumahnya.[23]
Allah tidak melarang orang-orang
yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong,
dan bantu-membantu dengan orang musyrik selama mereka tidak mempunyai niat
menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir kaum Muslimin dari
negeri-negeri mereka, dan tidak pula berteman akrab dengan orang yang hendak
mengusir itu.
Ayat
ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan
dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu Negara. Kaum Muslimin diwajibkan
bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan
ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin.
Seandainya dalam sejarah Islam,
terutama pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat, terdapat tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka
tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan
siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik.
Di
mekkah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang
musyrik, sampai mereka terpaksa hijrah ke madinah. Sesampai di madinah, mereka pun dimusuhi oleh orang
yahudi yang bersekutu dengan orang-orang musyrik, sekalipun telah dibuat perjanjian
damai antara mereka dengan Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa
mengambil tindakan keras terhadap mereka. Demikian pula ketika kaum Muslimin
berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir disana telah
memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan.
Jadi
ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam dengan
orang-orang kafir, yaitu boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang
bukan Islam melakukan yang demikian pula. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam
sikap dan perbuatan kedua belah pihak.
Di
Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain
bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.
(9)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah hanya melarang kaum Muslimin
bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia
beribadah di jalan Allah, dan memurtadkan kaum Muslimin sehingga ia berpindah
kepada agama lain, yang memerangi, mengusir, dan membantu pengusir kaum
Muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu, Allah dengan tegas
melarang kaum Muslimin untuk berteman dengan mereka.[24]
Di akhir ayat ini, Allah
mengingatkan kaum Muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman dan
tolong-menolong dengan mereka, bahwa jika mereka melanggar larangan ini, maka
mereka adalah orang-orang yang zalim.
7. Munasabah
Dalam
ayat-ayat tersebut diterangkan sikap orang-orang yang beriman terhadap
orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum Muslimin, bahkan mereka mengulurkan
tangan persaudaraan dan hubungan baik, maka kali ini harus disambut baik pula
oleh kaum muslimin.
[1]Kh. Shaleh dkk, Asbabun
Nuzul Latar Belakang Historis Turunya Ayat-Ayat al-Qur’an. 619
[3]Imam Ali bin
Ahmad al-wahidi, Asbab Nuzul al-Quran, (Libanon: Dar Al-Kutub
Al-Alamiah, 2009), 496.
[4]M. Qurish
Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 575.
[5]Kementrian
Agama, Alquran dan Tafsirnya (Jakarta: Widya, 2011), 797.
[7]Muhammad bin Ali
bin Muhammad Al-Syaukani, Fath al-Qadir (Bairut: Dar ibn Hajm, 2005), 283.
[8] Ismail Haqqi, Ruh
al-Bayan fi tafsir al-Quran (Libanon: Darul Kutub al-Ilmiah, 2003), 542.
[9]Qurash shihab, Tafsir
Al-Misbah.,579
[12]Muhammad Bin Ali
Bin Muhammad Assyaukani, Fathul Qadr (Bairut: Dar Ibnu Hajm, 2005) 685
[13]Quraish shihab, Tafsir
Al Misbah.,581
[14]Muhammad Bin
Ahmad, Tafsir Khatib Al-syarbini (Bairut Dar Kutub Al Ilmiah, 2004) 701
[15]Kementrian Agama, Al-Qur’an
Dan Tafsirnya (Jakarta, widya cahaya, 2011), 798.
[17]Al-quran, 60: 7-9.
[18]M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002). 167.
[19]Widya Cahaya, al-Qur‘an
& Tafsirnya (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan
“KDT”, 2011). 96.
[21]Al-quran,
110:1-3.
[22] Shihab,
Tafsir..,169.
[23]Widya,
al-Qur‘an... 98.
[24] Ibid,
98.
Jackpot City Casino Site - LuckyClub
BalasHapusThe jackpot city JackpotCity is the place to bet on the biggest and most exciting games luckyclub around. It is powered by one of the world's most trusted and