A. Biografi Abdurrauf As-singkily
Abdurrauf
As-singkily adalah ulama Aceh yang terkenal pada abad ke 17. Beliau lahir di
Singkel, Aceh Selatan pada kisaran tahun 1615. Nama asli beliau adalah Abdurrauf
al-fansuri, kata As-Singkily ditambahkan pada akhir namanya karena asal beliau
dari daerah Singkel, Aceh Selatan.[1]
Ayahnya ulama besar dan ahli dalam
bahasa dan sastra Arab, Melayu dan Persia. Dan pamanya,Hamzah Al-fansuri
adalah seorang penyair dan sufi besar.[2]
Aburrauf
As-Singkily juga terkenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala, karena beliau
mengajar dan kemudian dimakamkan di kuala (muara) Banda Aceh. Nama ini kemudian
diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh pada tahaun 1961,
yakni Universitas Syiah Kuala. Beliau juga sering disebut Wali Tanah Aceh. [3]
Sekitar
tahun 1064 H/1643 M, ketika kesultanan Aceh berada di kepemimpinan Sultanah
(Ratu) Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), Abdurrauf berangkat ke tanah Arab
dengan tujuan mempelajari ilmu agama. Ia mengunjungi pusat pendidikan dan
pengajaran agama disepanjang jalur perjalanan haji antara Yaman dan Makah. Ia
kemudian bermukim di Makah dan Madinah untuk menambah pengetahuan tentang ilmu
Al-Qur’an, hadist, fiqih dan tafsir, serta mempelajari tasawuf. Ia belajar
tarekat Syattariyah pada Ahmad Qusasi (1583-1661), syekh tarekat tersebut dan
Ibrahim Al-Qur’ani, pengganti Qusasi. Ia memperoleh ijazah hingga memiliki hak
mengajarkan tarekat kepada orang lain.[4]
Ia
kembali ke Aceh sekitar tahun 1661/1662 M. selama tiga puluh dua tahun, beliau
menngabdikan diri dan banyak menulisan karangan tentang Islam, meliputi
tasawuf, fiqih dan tafsir. Murid beliau tersebar diberbagai pulau di nusantara,
hal ini disebabkan karena Aceh pada waktu itu menjadi persinggahan bagi Jamaah
haji, dan tidak sedikit dari jamaah haji yang akhirnya belajar tasawuf kepada
beliau. Diantara muridnya yang terkenal
antara lain Syekh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman, Sumatra Barat). Ia juga
banyak berkunjung di daerah Sumatra dan Jawa.[5]
Ketika
kesultanan Aceh dipimpin oleh Safiatuddin Tajul Alam, Abdurrauf As-Singkily
diangkat sebagai mufti Aceh. Dengan dukungan dari pihak kesultanan, beliau
berhasil menghapuskan ajaran salik buta di Aceh. Salik buta merupakat tarekat
yang lebih dulu ada di Aceh sebelum tarekat Syattariyah yang dibawa beliau
berkembang, dengan ajaran para Salik (pengikut salik buta) yang tidak mau
bertoubat akan dibunuh.[6]
Mengenai
riwayat hidup Abdurrauf As-singkily yang terperinci dapat dilihat dalam kolofon
yang terdapat di beberapa naskah tulisan dari karyanya, umdat Al-muhtajin.
Pada akhir karangan Abdurrauf banyak memuat nama-nama ulama yang pernah menjadi
guru beliau dan nama-nama teman pergaulan beliau selama berada di Arab. Tulisan
tentang riwayat hidup beliau juga dapat dilihat dalam desertasi doktoral yang
ditulis oleh Rinkes (1909:25-31).
B. Karya-karyanya
Karya-karya
yang beliau tulis meliputi berbagai bidang keilmuan agama antara lain dalam
bidang fiqih, beliau menulis Mir’at at-Thullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam
asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab (cermin bagi penuntut ilmu fikih pada
memudahkan mengenal segala hukum syara’ Allah), di dalamnya termuat berbagai
masalah fikih Syafi’i. kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah. Dalam bidang
tasawuf karya beliau antara lain Umdat al-Muhtajin (tiang orang yang
memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (pencukup para pengemban hajat) dan Bayan
Tajalli (tentang Tajali). Sedang dalam bidang tafsir karya beliau yang
fenomenal dan dianggap sebagai kitab tafsir pertama yang ditulis oleh orang
Indonesia, ditulis dengan bahasa melayu , kitab itu bernama Tarjuman
al-Mustafid.
Tarjuman
al-mustafid merupakan salah satu karya beliau yang
momental. Walaupun karya tersebut dinisbatkan kepada beliau, dalam faktanya
ternyata dalam penulisan banyak diberikan tambahan oleh murid beliau Daud
Ar-Rumy.[7]
C. Tentang Tarjuman Al-Mustafid
1. Metode penafsiran
Metode penafsiran yang yang digunakan
oleh abdurrauf dalam menulis kitab Tarjuman al-Mustafid adalah metode
analitis (tahlili). Metode ini sangat berbeda dengan metode penafsiran
pada masa atau periode sebelumnya yang mengggunakan metode ijmali. Metode tahlili
adalah cara penafsiran Al-Qur’an dengan menjelasakan aspek-aspek yang dikandung
oleh ayat yang ditafsirkan secara luas dan rinci, seperti penjelasan kosa kata,
latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), nasikh-mansukh dan
munasabat.[8]
Tafsir yang ditulis oleh Abdurrauf ini
menurut Nashuriddin Baidan secara jelas menggunakan metode analitis. Baidan
mengambil contoh pada penafsiran surat Al-Fatihah ayat keempat, مَالِكِ يَوْمِ الدِّين. Dalam ayat ini Abdurrauf mengungkapakan perbedaan qiraat
antara satu imam qiraat dengan imam yang lainnya. Cara seperti ini juga
diterapkan ketika menafsirkan kata كُفُوًا
dalam surat Al-Ikhlas. Selain itu juga Abdurrauf juga mengemukakan latar
belakang turunnnya ayat.[9]
Meskipun
demikian, penafsiran yang diberikan oleh Abdurrauf belum menyangkup semua aspek
yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan. Tetapi menurut Nashiruddin Baidan
penafsiran yang dikemukan dalam Tarjuman al-Mustafid bisa digolongkan ke
dalam metode tafsir tahlili. Penafsiran seperti ini belum pernah ada
sebelumnya.[10]
Namun pendapat
lain juga menyatakan bahwa Tarjuman Al-Mustafid merupakan saduran dari
Kitab Tafsir Al-Jalalain. Dengan demikian,maka metode penafsiran yang
digunakan Tarjuman al-Mustafid adalah metode ijmali sebagaimana yang
digunakan dalam tafsir Jalalain.
2. Corak penafsiran
Corak tafsir yang ditulis oleh Abdurrauf
Al-Fansuri tampak menggunakan corak umum. Artinya penafsiran yang diberikan
tidak mengacu pada satu corak tertentu, seperti fiqih, filsafat, dan adab
bil-ijtima’i. Namun tafsirnya mencangkup berbagai corak tersebut sesuai
dengan kandungan ayat yang ditafsirkan. Jika sampai pada ayat yang membicarakan
hukum fiqih, beliau akan mengungkapkan hukum-hukum fiqih, dan jika sampai pada
ayat tentang teologi, pembahasan keyakinan tentang akidah mendapat porsi yang
cukup.dan jika sampai pada ayat yang menyebutkan tentang Qishah, beliau akan
membahasnya dengan porsi yang cukup pula.[11]
Munculnya corak penafsiran Aburrauf Al-Fansuri
ini tidaklah mengherankan karena beliau memiliki keahlian dalam berbagai
bidang, seperti ilmu fikih, filsafat, mantik, tauhid, sejarah, ilmu falak dan
politik. Dengan keluasan ilmu yang dimilikinya tidak aneh jika corak penafsiran
yang di berikan bersifat umum, walaupun Abdurrauf Al-Fansuri juga terkenal
sebagai penyebar dan mursyid tarekat syattariah namun corak penafsiran yang
diberikan tidak terpengaruh pada satu bidang tertentu.[12]
Salah satu contoh penafsiran dalam kitab
Tarjuman al-Mustafid yang bercorak qishah (kisah) menngenai surat
al-kahfi ayat 83-88:
83. (dan ditanya ) segala Yahudi itu
(akan dikau) ya Muhammad (dari pada cerita Zulkarnain) yang bernama Iskandar
dan tiada ia nabi. (kata olehmu:”lagi akan aku ceritakan atas kamu) dari pada
halnya (dengan satu kabar)
84. (bahwasanya telah Kami tetapkan
baginya dalam bumi) yaitu kemudahan berjalan dalamnya (dan telah kami
anugrahinya akan dia dari tiap-tiap) yang berkehendak ia kepadanya (akan jalan)
menyampaikan kepada maksudnnya[13]
Faidah: pada mennyatakan sebab dinamai
raja Iskandar itu Zulkarnain, adalah Iskandar itu bangsa Rum, raja Farsi dan
Rum, dan kata setengah raja masyrik dan maghrib maka sebab itulah dinamai ia
Zulkarnain, atau karena ia berkeliling pada dua kurun dunia, masyriknya dan
maghribnya. Dan kata setengah ulama karena habis mati pada segala harinya dua
kurun dari pada manusia. Dan kata setengah yang lain daripada yang tesebut itu,
hasilnya adalah Zulkarnain lakabnya dan namannya Iskandar. Wa Allah a’lam.[14]
3. Bentuk Tafsir
Secara bentuk, penafsiran yang digunakan
oleh Abdurrauf Al-Fansuri mengikuti bentuk penafsiran yang digunakan oleh
Al-Baidhawi yaitu bentuk penafsiran al-ra’yu. Meskipun hanya bentuk
penafsirannnya saja yang diikuti, yaitu pemikiran rasional yang didukung dengan
argumentasi yang kuat atau fakta yang valid. Dengan demikian, ia hanya
mengambil ide pokoknya saja, sementara yang dianggap tidak penting, tidak
beliau masuakan dalam kitabnya. Oleh karena itu, tafsir al-fatihah Abdurrauf al-Fansuri
lebih singkat dari pada penafsiran yang diberikan oleh al-Baidhawi.[15]
4. Berbagai pendapat tentang Tarjuman al-Mustafid
Tarjuman al-Mustafid
merupakan karya tafsir Al-qur’an lengkap pertama ditulis dalam bahasa melayu yang
masih ada. Diantara lebih dari 20 karya
Abdurrauf yang terkenal, menurut Voorhoeve Tarjuman al-Mustafid mungkin
merupakan hasil kerja yang paling penting. Hasil karya ini sudah lama dianggap
sebagai terjemahan dari sebuah kitab tafsir Arab Anwar al-Tanzil wa Asrar
al-Ta’wil karangan al-Baidhawi.[16]
Pernyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid
merupakan terjemahan dari kitab tafsir yang ditulis Baidhawi secara umum telah
diterima oleh para sarjana Islam di Asia Tenggara, Arab dan Eropa. Namun
pendapat ini dibantah oleh Peter G. Riddell dalam jurnal MIMBAR, bahwa pernyataan
seperti itu terlalu mencolok, karena menurut Peter tidak ada satu naskah pun
yang dapat dijadikan bukti.[17]
Menurut anilisis yang dilakukan Peter,
asal mula anggapan ini nampaknya bersumber dari edisi cetakan pertama yang
beredar di Istambul pada tahun 1884. Pada halaman judul, redaktur menulis
pernyataan yang pada intinya menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid
setengah maknanya diambil dari tafsir al-Baidhawi.
Keterangan yang menyatakan bahwa Baidhawi
merupakan sebagian sumber dari Tarjuman al-Mustafid nampakanya kemudian
hari disalah tafsirkan, dan menurut Peter kemungkinan besar penyebab penyalah
tafsiran ini adalah Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje memiliki satu edisi
Istambul di perpustakaan pribadinya, yang kemudian ia wariskan keperpustakaan
Universitas Leden. Keterangan yang paling masuk akal tentang adanya kesalahan
tersebut adalah bahwa Snouck Hurgronje menyaring inti isi halaman-halaman Tarjuman
al-Mustafid, melihat rujukan tafsir al-Baidhawi secara sekilas, kemudian
menulis:
“hasil karya abdurrauf yang terkenal
lainya adalah terjemah tafsir Al-Qur’an karangan Baidhawi ke dalam bahasa
Melayu..”
Keteranngan yang diungkapakan oleh Snouck
Hurgronje inilah yang menjadi tolak ukur para sarjana Eropa dalam menghubungkan
antara Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abdurrauf dengan tafsir
al-Baidhawi. Rinkes mengutip keterangan
dari Snouck Hurgronje itu dan menambah salah pengertian lagi, dia berpendapat
bahwa ada tiga tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh Abdurrauf:
“…
we find a translation of baidhawy’s Qur’anic commentary mentioned (by Snouck
Hurgronje), as well asa a section of the tafsir al-jalalain.. a third
commentary written by him is named a ‘Malay rendering of the tarjuman
al-mustafid, which was supplied with additions by one of his students.”
Rupanya Rinkes tidak memeriksa naskah Tarjuman
al-Mustafid itu dengan teliti, sebab seandainya ia diperiksa dengan
seksama, cepat Rinkes sadar bahwa sebetulnya “tiga” karya tafsir itu satu.
Voorhoeve juga terpengaruh kepada Snouck Hurgronje di dalam penelitiannya. Namun
setelah delapan tahun ia mulai curiga bahwa sebetulnya Tarjuman al-Mudtafid
itu tidak begitu berdasar kepada kitab al-Baidhawy.[18]
Pada edisi cetakan berikutnya yang
beredar di kawasan Asia Tenggara juga menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid
merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidhawy. Terjemahan yang diterbitkan di
Kairo, edisi keempat, yang telah beberapa kali dicetak di Indonesia dan Singapura
pada setiap sampul cetakanya terdapat keterangan :
“al-tarjamah al-jawiyah li al-tafsir
al-musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-takwiil li al-Imam al-Qadhy
…Al-Baidhawy.
Dalam edisi tersebut, ada pernyataan
yang ditambahkan dan diperkuat dengan adanya
tanda tangan tiga sarjana Melayu di Makkah yang memberikan kesaksian
bahwa kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari kitab tafsir
al-Baidhawy tanpa ada pengurangan dan penambahan, tanpa ada penggantian dan
perubahan. Mereka menyatakan telah melakukan penelitian terhadap kitab Tarjuman
al-Mustafid dan setuju dengan pendapat yang pada mulanya diungkapkan oleh Snouck
Hurgronje. Setelah itu, cetakan yang beredar di Asia Tenggara benar-benar
menghapus nama Tarjuman al-Mustafid dari halaman judul dan diganti
dengan judul-judul yang pada dasarnya merangakaikan karya itu kepada karya al-Baidhawy.[19]
Masih bertendensi dengan analisis yang
dilakukan oleh Peter, menurut analisisnya sebenarnya tidak perlu melakuakn
penelitian yang mendalam untuk menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid itu
bukanlah terjemahan dari al-baidhawy, cukup dengan dilihat sekilas dalam
beberapa halaman Tarjuman al-Mustafid. Uraian lebih lanjut akan
memperjelas hal tersebut. Keterangan-keterangan tersebut diambil Peter dari
sebuah tulisan tangan yang ada dalam koleksi Museum Nasional Jakarta dan
terdaftar sebagai ML 116.
Dalam keterangan selanjutnya Peter
menyatakan bahwa, Tarjuman Al-mustafid didalamnya terdapat unsur-unsur
kitab tafsir Jalalain, Al-Baidhawi dan Khazin. Nama Al-Khazin
sering disebutkan dalam kitab ini, namun nama AL-Baidhawi tidak disebutkan
sesering nama Al-Khazin. Sedang kutipan dari tafsir Jalalain
tidak pernah disebut nama pengarangnya, walaupun demikian sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Van Ronkel pada tahun 1909 menyebutkan bahwa Tarjuman
Al-mustafid ada kesinambungan dengan tafsir jalalain.
Tarjuman al-Mustafid
dianggap sebagai kitab tafsir pertama yang ada di Indonesia, namun asusmsi
Peter berbeda denga statemen yang mayoritas itu. Ia beranggapan bahwa sebelum Tarjuman
al-Mustafid sudah ada kitab tafsir yang ditulis, namun kitab tersebut
dibakar oleh pengikut Ar-Raniri. Peristiwa pembakaran itu merupakan usaha
Ar-Raniri untuk membasmi ajaran-ajaran Hamzah dan Syamsudin. [20]
[1] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 34.
[2] H.A.Mukti Ali, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: depag RI. 1992/1993) ,26.
[3] Nina M. Armando dkk,
Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 35.
[4] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 34.
[5] Ibid..34
[6] Ibid,,34
[7] Peter G. Riddel, “Tafsir Klasik
di Indonesia (Studi tentang tarjuman al-mustafid Karya Abdurrauf As-Singkily)”
Jakarta,Volume XVII No,2, 2000
[8] Lebih lanjut lihat Nashruddin Baidan,
metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet-1,
1998,hlm 31-64
[9] Nashiruddin Baidan, Perkembangan
Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003),67.
[10] Ibid..67
[11] Ibid..68
[12] H.A. Mukti Ali, Esiklopedi
Islam,( Jakarta:depag R.I.1992/1993), 26
[13] Peter G. Riddel, “Tafsir Klasik
di Indonesia (Studi tentang tarjuman al-mustafid Karya Abdurrauf As-Singkily)”
Jakarta,Volume XVII No,2, 2000, 6.
[14] Ibid..6
[15] Nasharuddin Baidan, sejarah
perkembangan….66-67
[16] Peter G. Riddel, “Tafsir Klasik
di Indonesia (Studi tentang tarjuman al-mustafid Karya Abdurrauf As-Singkily)”
Jakarta,Volume XVII No,2, 2000, 4.
[17] Ibid.,4
[18] Ibid., 5
[19] Ibid., 5
[20] Ibid., 9