Rabu, 03 April 2013

ANALISA TENTANG TARJUMAN AL_MUSTAFID KARYA ABDURRAUF AS_SINGKILY


A.    Biografi Abdurrauf As-singkily
Abdurrauf As-singkily adalah ulama Aceh yang terkenal pada abad ke 17. Beliau lahir di Singkel, Aceh Selatan pada kisaran tahun 1615. Nama asli beliau adalah Abdurrauf al-fansuri, kata As-Singkily ditambahkan pada akhir namanya karena asal beliau dari daerah Singkel, Aceh Selatan.[1] Ayahnya ulama besar dan ahli dalam  bahasa dan sastra Arab, Melayu dan Persia. Dan pamanya,Hamzah Al-fansuri adalah seorang penyair dan sufi besar.[2]
Aburrauf As-Singkily juga terkenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala, karena beliau mengajar dan kemudian dimakamkan di kuala (muara) Banda Aceh. Nama ini kemudian diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di Banda Aceh pada tahaun 1961, yakni Universitas Syiah Kuala. Beliau juga sering disebut Wali Tanah Aceh. [3]
Sekitar tahun 1064 H/1643 M, ketika kesultanan Aceh berada di kepemimpinan Sultanah (Ratu) Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), Abdurrauf berangkat ke tanah Arab dengan tujuan mempelajari ilmu agama. Ia mengunjungi pusat pendidikan dan pengajaran agama disepanjang jalur perjalanan haji antara Yaman dan Makah. Ia kemudian bermukim di Makah dan Madinah untuk menambah pengetahuan tentang ilmu Al-Qur’an, hadist, fiqih dan tafsir, serta mempelajari tasawuf. Ia belajar tarekat Syattariyah pada Ahmad Qusasi (1583-1661), syekh tarekat tersebut dan Ibrahim Al-Qur’ani, pengganti Qusasi. Ia memperoleh ijazah hingga memiliki hak mengajarkan tarekat kepada orang lain.[4]
Ia kembali ke Aceh sekitar tahun 1661/1662 M. selama tiga puluh dua tahun, beliau menngabdikan diri dan banyak menulisan karangan tentang Islam, meliputi tasawuf, fiqih dan tafsir. Murid beliau tersebar diberbagai pulau di nusantara, hal ini disebabkan karena Aceh pada waktu itu menjadi persinggahan bagi Jamaah haji, dan tidak sedikit dari jamaah haji yang akhirnya belajar tasawuf kepada beliau.  Diantara muridnya yang terkenal antara lain Syekh Burhanuddin dari Ulakan (Pariaman, Sumatra Barat). Ia juga banyak berkunjung di daerah Sumatra dan Jawa.[5]
Ketika kesultanan Aceh dipimpin oleh Safiatuddin Tajul Alam, Abdurrauf As-Singkily diangkat sebagai mufti Aceh. Dengan dukungan dari pihak kesultanan, beliau berhasil menghapuskan ajaran salik buta di Aceh. Salik buta merupakat tarekat yang lebih dulu ada di Aceh sebelum tarekat Syattariyah yang dibawa beliau berkembang, dengan ajaran para Salik (pengikut salik buta) yang tidak mau bertoubat akan dibunuh.[6]
Mengenai riwayat hidup Abdurrauf As-singkily yang terperinci dapat dilihat dalam kolofon yang terdapat di beberapa naskah tulisan dari karyanya, umdat Al-muhtajin. Pada akhir karangan Abdurrauf banyak memuat nama-nama ulama yang pernah menjadi guru beliau dan nama-nama teman pergaulan beliau selama berada di Arab. Tulisan tentang riwayat hidup beliau juga dapat dilihat dalam desertasi doktoral yang ditulis oleh Rinkes (1909:25-31).
B.     Karya-karyanya
Karya-karya yang beliau tulis meliputi berbagai bidang keilmuan agama antara lain dalam bidang fiqih, beliau menulis Mir’at at-Thullab fi Tahsil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab (cermin bagi penuntut ilmu fikih pada memudahkan mengenal segala hukum syara’ Allah), di dalamnya termuat berbagai masalah fikih Syafi’i. kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah. Dalam bidang tasawuf karya beliau antara lain Umdat al-Muhtajin (tiang orang yang memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (pencukup para pengemban hajat) dan Bayan Tajalli (tentang Tajali). Sedang dalam bidang tafsir karya beliau yang fenomenal dan dianggap sebagai kitab tafsir pertama yang ditulis oleh orang Indonesia, ditulis dengan bahasa melayu , kitab itu bernama Tarjuman al-Mustafid.
Tarjuman al-mustafid merupakan salah satu karya beliau yang momental. Walaupun karya tersebut dinisbatkan kepada beliau, dalam faktanya ternyata dalam penulisan banyak diberikan tambahan oleh murid beliau Daud Ar-Rumy.[7]
C.    Tentang Tarjuman Al-Mustafid
1.      Metode penafsiran
Metode penafsiran yang yang digunakan oleh abdurrauf dalam menulis kitab Tarjuman al-Mustafid adalah metode analitis (tahlili). Metode ini sangat berbeda dengan metode penafsiran pada masa atau periode sebelumnya yang mengggunakan metode ijmali. Metode tahlili adalah cara penafsiran Al-Qur’an dengan menjelasakan aspek-aspek yang dikandung oleh ayat yang ditafsirkan secara luas dan rinci, seperti penjelasan kosa kata, latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), nasikh-mansukh dan munasabat.[8]
Tafsir yang ditulis oleh Abdurrauf ini menurut Nashuriddin Baidan secara jelas menggunakan metode analitis. Baidan mengambil contoh pada penafsiran surat Al-Fatihah ayat keempat,  مَالِكِ يَوْمِ الدِّين. Dalam ayat ini Abdurrauf mengungkapakan perbedaan qiraat antara satu imam qiraat dengan imam yang lainnya. Cara seperti ini juga diterapkan ketika menafsirkan kata كُفُوًا dalam surat Al-Ikhlas. Selain itu juga Abdurrauf juga mengemukakan latar belakang turunnnya ayat.[9]
Meskipun demikian, penafsiran yang diberikan oleh Abdurrauf belum menyangkup semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan. Tetapi menurut Nashiruddin Baidan penafsiran yang dikemukan dalam Tarjuman al-Mustafid bisa digolongkan ke dalam metode tafsir tahlili. Penafsiran seperti ini belum pernah ada sebelumnya.[10]
Namun pendapat lain juga menyatakan bahwa Tarjuman Al-Mustafid merupakan saduran dari Kitab Tafsir Al-Jalalain. Dengan demikian,maka metode penafsiran yang digunakan Tarjuman al-Mustafid adalah metode ijmali sebagaimana yang digunakan dalam tafsir Jalalain.
2.      Corak penafsiran
Corak tafsir yang ditulis oleh Abdurrauf Al-Fansuri tampak menggunakan corak umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak mengacu pada satu corak tertentu, seperti fiqih, filsafat, dan adab bil-ijtima’i. Namun tafsirnya mencangkup berbagai corak tersebut sesuai dengan kandungan ayat yang ditafsirkan. Jika sampai pada ayat yang membicarakan hukum fiqih, beliau akan mengungkapkan hukum-hukum fiqih, dan jika sampai pada ayat tentang teologi, pembahasan keyakinan tentang akidah mendapat porsi yang cukup.dan jika sampai pada ayat yang menyebutkan tentang Qishah, beliau akan membahasnya dengan porsi yang cukup pula.[11]
Munculnya corak penafsiran Aburrauf Al-Fansuri ini tidaklah mengherankan karena beliau memiliki keahlian dalam berbagai bidang, seperti ilmu fikih, filsafat, mantik, tauhid, sejarah, ilmu falak dan politik. Dengan keluasan ilmu yang dimilikinya tidak aneh jika corak penafsiran yang di berikan bersifat umum, walaupun Abdurrauf Al-Fansuri juga terkenal sebagai penyebar dan mursyid tarekat syattariah namun corak penafsiran yang diberikan tidak terpengaruh pada satu bidang tertentu.[12]
Salah satu contoh penafsiran dalam kitab Tarjuman al-Mustafid yang bercorak qishah (kisah) menngenai surat al-kahfi ayat 83-88:
83. (dan ditanya ) segala Yahudi itu (akan dikau) ya Muhammad (dari pada cerita Zulkarnain) yang bernama Iskandar dan tiada ia nabi. (kata olehmu:”lagi akan aku ceritakan atas kamu) dari pada halnya (dengan satu kabar)
84. (bahwasanya telah Kami tetapkan baginya dalam bumi) yaitu kemudahan berjalan dalamnya (dan telah kami anugrahinya akan dia dari tiap-tiap) yang berkehendak ia kepadanya (akan jalan) menyampaikan kepada maksudnnya[13]
Faidah: pada mennyatakan sebab dinamai raja Iskandar itu Zulkarnain, adalah Iskandar itu bangsa Rum, raja Farsi dan Rum, dan kata setengah raja masyrik dan maghrib maka sebab itulah dinamai ia Zulkarnain, atau karena ia berkeliling pada dua kurun dunia, masyriknya dan maghribnya. Dan kata setengah ulama karena habis mati pada segala harinya dua kurun dari pada manusia. Dan kata setengah yang lain daripada yang tesebut itu, hasilnya adalah Zulkarnain lakabnya dan namannya Iskandar. Wa Allah a’lam.[14]

3.      Bentuk Tafsir
Secara bentuk, penafsiran yang digunakan oleh Abdurrauf Al-Fansuri mengikuti bentuk penafsiran yang digunakan oleh Al-Baidhawi yaitu bentuk penafsiran al-ra’yu. Meskipun hanya bentuk penafsirannnya saja yang diikuti, yaitu pemikiran rasional yang didukung dengan argumentasi yang kuat atau fakta yang valid. Dengan demikian, ia hanya mengambil ide pokoknya saja, sementara yang dianggap tidak penting, tidak beliau masuakan dalam kitabnya. Oleh karena itu, tafsir al-fatihah Abdurrauf al-Fansuri lebih singkat dari pada penafsiran yang diberikan oleh al-Baidhawi.[15]
4.      Berbagai pendapat tentang Tarjuman al-Mustafid
Tarjuman al-Mustafid merupakan karya tafsir Al-qur’an lengkap pertama ditulis dalam bahasa melayu yang masih ada.  Diantara lebih dari 20 karya Abdurrauf yang terkenal, menurut Voorhoeve Tarjuman al-Mustafid mungkin merupakan hasil kerja yang paling penting. Hasil karya ini sudah lama dianggap sebagai terjemahan dari sebuah kitab tafsir Arab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baidhawi.[16]
Pernyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari kitab tafsir yang ditulis Baidhawi secara umum telah diterima oleh para sarjana Islam di Asia Tenggara, Arab dan Eropa. Namun pendapat ini dibantah oleh Peter G. Riddell dalam jurnal MIMBAR, bahwa pernyataan seperti itu terlalu mencolok, karena menurut Peter tidak ada satu naskah pun yang dapat dijadikan bukti.[17]
Menurut anilisis yang dilakukan Peter, asal mula anggapan ini nampaknya bersumber dari edisi cetakan pertama yang beredar di Istambul pada tahun 1884. Pada halaman judul, redaktur menulis pernyataan yang pada intinya menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid setengah maknanya diambil dari tafsir al-Baidhawi.
Keterangan yang menyatakan bahwa Baidhawi merupakan sebagian sumber dari Tarjuman al-Mustafid nampakanya kemudian hari disalah tafsirkan, dan menurut Peter kemungkinan besar penyebab penyalah tafsiran ini adalah Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje memiliki satu edisi Istambul di perpustakaan pribadinya, yang kemudian ia wariskan keperpustakaan Universitas Leden. Keterangan yang paling masuk akal tentang adanya kesalahan tersebut adalah bahwa Snouck Hurgronje menyaring inti isi halaman-halaman Tarjuman al-Mustafid, melihat rujukan tafsir al-Baidhawi secara sekilas, kemudian menulis:
“hasil karya abdurrauf yang terkenal lainya adalah terjemah tafsir Al-Qur’an karangan Baidhawi ke dalam bahasa Melayu..”
Keteranngan yang diungkapakan oleh Snouck Hurgronje inilah yang menjadi tolak ukur para sarjana Eropa dalam menghubungkan antara Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abdurrauf dengan tafsir al-Baidhawi.  Rinkes mengutip keterangan dari Snouck Hurgronje itu dan menambah salah pengertian lagi, dia berpendapat bahwa ada tiga tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh Abdurrauf:
“… we find a translation of baidhawy’s Qur’anic commentary mentioned (by Snouck Hurgronje), as well asa a section of the tafsir al-jalalain.. a third commentary written by him is named a ‘Malay rendering of the tarjuman al-mustafid, which was supplied with additions by one of his students.”
Rupanya Rinkes tidak memeriksa naskah Tarjuman al-Mustafid itu dengan teliti, sebab seandainya ia diperiksa dengan seksama, cepat Rinkes sadar bahwa sebetulnya “tiga” karya tafsir itu satu. Voorhoeve juga terpengaruh kepada Snouck Hurgronje di dalam penelitiannya. Namun setelah delapan tahun ia mulai curiga bahwa sebetulnya Tarjuman al-Mudtafid itu tidak begitu berdasar kepada kitab al-Baidhawy.[18]
Pada edisi cetakan berikutnya yang beredar di kawasan Asia Tenggara juga menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari tafsir al-Baidhawy. Terjemahan yang diterbitkan di Kairo, edisi keempat, yang telah beberapa kali dicetak di Indonesia dan Singapura pada setiap sampul cetakanya terdapat keterangan :
“al-tarjamah al-jawiyah li al-tafsir al-musamma Anwar al-Tanzil wa Asrar al-takwiil li al-Imam al-Qadhy …Al-Baidhawy.
Dalam edisi tersebut, ada pernyataan yang ditambahkan dan diperkuat dengan adanya  tanda tangan tiga sarjana Melayu di Makkah yang memberikan kesaksian bahwa kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari kitab tafsir al-Baidhawy tanpa ada pengurangan dan penambahan, tanpa ada penggantian dan perubahan. Mereka menyatakan telah melakukan penelitian terhadap kitab Tarjuman al-Mustafid dan setuju dengan pendapat yang pada mulanya diungkapkan oleh Snouck Hurgronje. Setelah itu, cetakan yang beredar di Asia Tenggara benar-benar menghapus nama Tarjuman al-Mustafid dari halaman judul dan diganti dengan judul-judul yang pada dasarnya merangakaikan karya itu kepada karya al-Baidhawy.[19]
Masih bertendensi dengan analisis yang dilakukan oleh Peter, menurut analisisnya sebenarnya tidak perlu melakuakn penelitian yang mendalam untuk menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid itu bukanlah terjemahan dari al-baidhawy, cukup dengan dilihat sekilas dalam beberapa halaman Tarjuman al-Mustafid. Uraian lebih lanjut akan memperjelas hal tersebut. Keterangan-keterangan tersebut diambil Peter dari sebuah tulisan tangan yang ada dalam koleksi Museum Nasional Jakarta dan terdaftar sebagai ML 116.
Dalam keterangan selanjutnya Peter menyatakan bahwa, Tarjuman Al-mustafid didalamnya terdapat unsur-unsur kitab tafsir Jalalain, Al-Baidhawi dan Khazin. Nama Al-Khazin sering disebutkan dalam kitab ini, namun nama AL-Baidhawi tidak disebutkan sesering nama Al-Khazin. Sedang kutipan dari tafsir Jalalain tidak pernah disebut nama pengarangnya, walaupun demikian sebuah penelitian yang dilakukan oleh Van Ronkel pada tahun 1909 menyebutkan bahwa Tarjuman Al-mustafid ada kesinambungan dengan tafsir jalalain.
Tarjuman al-Mustafid dianggap sebagai kitab tafsir pertama yang ada di Indonesia, namun asusmsi Peter berbeda denga statemen yang mayoritas itu. Ia beranggapan bahwa sebelum Tarjuman al-Mustafid sudah ada kitab tafsir yang ditulis, namun kitab tersebut dibakar oleh pengikut Ar-Raniri. Peristiwa pembakaran itu merupakan usaha Ar-Raniri untuk membasmi ajaran-ajaran Hamzah dan Syamsudin. [20]



[1] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 34.
[2] H.A.Mukti Ali, Ensiklopedi Islam (Jakarta: depag RI. 1992/1993) ,26.
[3] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 35.
[4] Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 34.
[5] Ibid..34
[6] Ibid,,34
[7] Peter G. Riddel, “Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang tarjuman al-mustafid Karya Abdurrauf As-Singkily)” Jakarta,Volume XVII No,2, 2000
[8] Lebih lanjut lihat Nashruddin Baidan, metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet-1, 1998,hlm 31-64
[9] Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003),67.
[10] Ibid..67
[11] Ibid..68
[12] H.A. Mukti Ali, Esiklopedi Islam,( Jakarta:depag R.I.1992/1993), 26
[13] Peter G. Riddel, “Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang tarjuman al-mustafid Karya Abdurrauf As-Singkily)” Jakarta,Volume XVII No,2, 2000, 6.
[14] Ibid..6
[15] Nasharuddin Baidan, sejarah perkembangan….66-67
[16] Peter G. Riddel, “Tafsir Klasik di Indonesia (Studi tentang tarjuman al-mustafid Karya Abdurrauf As-Singkily)” Jakarta,Volume XVII No,2, 2000, 4.
[17] Ibid.,4
[18] Ibid., 5
[19] Ibid., 5
[20] Ibid., 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar